Postingan

Resiliensi

Gambar
  Resilience is defined as the dynamic ability to adapt successfully in the face of adversity, trauma, or significant threat. - Sarah R Horn Saya mengenal satu kata saat mulai bekerja di dunia konservasi-- yang lantas menjadi kata favorit saya, yaitu resiliensi (resilience). Dalam dunia konservasi, kata resiliensi menggambarkan suatu keadaan yang memungkinkan suatu sistem (lingkungan, kampung, ekosistem, dll) dapat beradaptasi dari perubahan atau ancaman yang terjadi dalam waktu cepat. Ancaman tersebut bisa berupa dampak perubahan iklim, bencana, atau wabah penyakit. Secara singkat kita menyebutnya tangguh. Biar lebih jelas, saya ilustrasikan keadaan resiliensi itu dari apa yang pernah saya lihat langsung: Saat pandemi Covid 19 lalu, dunia begitu menjadi panik. Akses ditutup, rantai logistik menjadi tersendat, dan perekonomian seperti berhenti sementara. Dampak besarnya dirasakan merata oleh masyarakat. Jangankan mendapatkan penghasilan ekonomi, sekadar mengakses bahan pangan saja suli

Perempuan Adat, Pahlawan Pangan dengan Triple Minority

Gambar
Perempuan, masyarakat adat, dan pangan lokal adalah tiga isu yang nyaris selalu terpinggirkan dalam percakapan pembangunan nasional. Ketiganya melekat sempurna pada diri perempuan adat. Di Asmat, Papua, perempuan adat atau mama-mama Asmat memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya alam, utamanya pangan lokal. Hal ini tidak terlepas dari pembagian peran di masa lalu. Pada masa perang suku, laki-laki Asmat dibebani tugas untuk menjaga keamanan kampung hingga turut berperang. Sedangkan yang mengumpulkan bahan makanan bagi keluarga menjadi tugas perempuan. Pembagian peran ini menurun hingga sekarang, walaupun tradisi perang suku sudah hampir tidak pernah terjadi. Peran perempuan Asmat dalam bekerja mengumpulkan bahan makanan menjamin ketersediaan pangan bagi komunitas adat terbesar di pesisir selatan Papua tersebut. Mereka meramu sagu yang tumbuh subur di hutan sekitar kampung. Bahkan di masa kini, sagu yang dikumpulkan oleh mama-mama Asmat sebagian disalurkan ke pasar untuk me

Kearifan yang Menyelamatkan Hutan dan Masyarakat Adat

Gambar
Philipus Yiwit (45 tahun) berjalan perlahan menyusuri tanah rawa di hutan milik keluarganya di Kampung Bow dan Uwus, Distrik Agats, Asmat, Papua. Pada sebuah pohon sagu berukuran sedang ia berhenti. Dengan dibantu seorang kerabatnya, ia lantas melingkarkan daun sagu muda di pohon tersebut. Sembari merapalkan doa adat, ia memastikan ikatan daun sagu tadi sudah cukup kuat melingkar. “Ini tanda kalau pohon sagu di dusun ini tidak boleh ditebang sama orang lain,” katanya. “Pohon ini sa simpan untuk biaya anak masuk SMA nanti.” Dalam khazanah kearifan lokal masyarakat adat Asmat, ritual yang dilakukan oleh Philipus tersebut disebut  cayin . Menurut Walter Ewenmanam (48 tahun), salah satu pemuka adat Asmat di Kampung Yepem, Distrik Agats,  cayin  berarti membatasi diri atas suatu aktivitas atau pekerjaan karena suatu sebab. Dalam pengelolaan sumber daya alam,  cayin  biasa diterapkan oleh masyarakat adat Asmat untuk membatasi aktivitas pemanfaatan di suatu wilayah dalam jangka waktu terten

Melestarikan Mangrove, Memperkuat Resiliensi Masyarakat Pesisir: Pembelajaran Konservasi dari Indragiri Hilir

Gambar
  Seorang nelayan kepiting bakau di Parit 18 memperlihatkan hasil tangkapannya. Walau terletak jauh dari pusat keramaian, rumah Andi Masrapi (45 tahun) jarang sekali terlihat sepi. Selain sebagai tempat tinggal, rumah panggung berbahan kayu di Parit 18 Kelurahan Sapat tersebut juga difungsikan sebagai tempat menjalankan usaha oleh pemiliknya. Pria yang biasa disapa Rapi ini menjalankan usaha warung kelontong dan pengumpul hasil perikanan di rumah tersebut. Kedua usaha itu menjadi mata pencaharian utamanya setelah kebun kelapa miliknya di lokasi tersebut mulai rusak. Sampai tahun 2015 perkebunan kelapa di Parit 18 Kelurahan Sapat, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, masih produktif. Menurut pengakuan Rapi, setiap kali panen, kebun kelapa miliknya mampu menghasilkan puluhan ribu sampai ratusan ribu butir kelapa. Angka itu turut berkontribusi pada statistik Kabupaten Indragiri Hilir sebagai Kabupaten penghasil kelapa terbesar di Indonesia. Namun masa kejayaan perkebunan kelapa d

The Way of Mangrove

Gambar
  Ini bukan Na'vi dari klan Metkayina di film Avatar. Ini adalah masyarakat tradisional dan masyarakat adat yang benar-benar hidup di pesisir nusantara. Sama dengan Na'vi, mereka juga hidup harmonis dengan hutan mangrove dan laut. Mereka tinggal di sekitar hutan mangrove dan menjala ikan untuk pangan sehari-hari, persis di pesisir Pandora. Hutan dan laut adalah bagian dari identitas yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat pesisir. Seperti Klan Metkayina, sebagian dari mereka juga masih menjaga tempat keramat. Mereka percaya apabila alam dirusak itu akan membawa kesengsaraan untuk mereka. Ayo tidak menjadi "bangsa langit" yang mengancam ekosistem tempat tinggal masyarakat tradisional dan masyarakat adat nusantara. Ngomong-ngomong, mantap juga kayaknya ya kalau bikin program pengelolaan mangrove dan pesisir di Metkayina 😁

Ci Sang Pengarung Zaman

Gambar
Herman Arep (55 tahun) sedang memperhatikan ci buatannya saat kami bertemu di depan jew Kampung Warse, Distrik Jetsy, Asmat, Papua. Pagi itu ia berencana melanjutkan pengerjaan perahu tradisional yang sudah dibuatnya selama hampir sebulan. “Kalau sa kerja setiap hari, satu minggu lagi ci ini sudah bisa dipakai. Bagian depan ini masih akan saya kikis biar jalannya nanti bisa seimbang,” katanya, sambil menunjuk bagian perahu yang masih perlu diperhalus. Dari sedikit orang yang memiliki kemampuan membuat ci di Kampung Warse, Herman adalah salah satu yang tersisa. Nyaris setiap tahun ia membuat ci untuk berbagai peruntukan, baik untuk digunakan sehari-hari ataupun untuk keperluan ritual adat. “Sekarang sudah tinggal sedikit yang bisa bikin perahu ini,” kata pria yang menjabat sebagai salah satu Tetua Adat di jew Kampung Warse ini. “Orang-orang lebih senang pakai fiber (perahu motor dengan bodi berbahan fiber). Fiber lebih cepat. Untuk mendapatkannya juga gampang. Tinggal minta sama ora

Kerusakan Hutan dan Masalah Sosial yang Mengikutinya

Gambar
  Februari 2016. Kampung Nakai tampak lengang ketika speedboat 80 PK yang mengantar kami bersandar. Hanya beberapa orang yang menyambut kami di dermaga. “Orang-orang sekarang lebih memilih tinggal di bivak. Jadi kampung begini sudah. Kosong,” ucap Urbanus Wuar (56 tahun), Kepala Kampung Nakai. Sudah sekitar sepuluh tahun belakangan perubahan sedang berlangsung di Kampung Nakai. Kampung yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz ini kini sepi penduduk. Sebagian besar penghuninya memilih menetap di bivak atau rumah sementara di dalam hutan. Hal itu mereka lakukan untuk mengumpulkan karaka atau kepiting bakau ( Scylla Spp. ) . “Tempat cari karaka sudah makin jauh dari kampung. Kalau dulu di dekat kampung sudah bisa dapat,” kata Urbanus. “Itu makanya mereka (para nelayan pencari karaka ) memlih tinggal di bivak dekat lokasi mencari. Pulang ke kampung cuma sekali-sekali. Biasa sebulan sekali. Atau kalau Dana Desa cair.” Masalah sosial kemudian muncul dari perpindahan massal ma