Kearifan yang Menyelamatkan Hutan dan Masyarakat Adat
Dalam khazanah kearifan lokal
masyarakat adat Asmat, ritual yang dilakukan oleh Philipus tersebut
disebut cayin. Menurut Walter Ewenmanam (48 tahun), salah satu
pemuka adat Asmat di Kampung Yepem, Distrik Agats, cayin berarti
membatasi diri atas suatu aktivitas atau pekerjaan karena suatu sebab. Dalam
pengelolaan sumber daya alam, cayin biasa diterapkan oleh
masyarakat adat Asmat untuk membatasi aktivitas pemanfaatan di suatu wilayah
dalam jangka waktu tertentu. Hal ini serupa dengan ritual sasi di wilayah
Maluku dan Maluku Utara atau moratorium dalam konsep konservasi modern. Menunda
pemanfaatan saat ini demi hasil yang lebih maksimal kemudian.
Pengelolaan sumber daya alam oleh
masyarakat adat Asmat sangat kental dengan nilai-nilai penghormatan kepada
bumi. Mereka meyakini betul alam telah memberikan kehidupan dan hutan yang
menyediakan makanan. Kesadaran akan hubungan timbal balik antara bumi dan
manusia ini termanisfestasi dalam aktivitas harian yang sebagian besar
bersentuhan dengan alam. Ia kemudian membentuk suatu sistem kearifan lokal
dalam bentuk hukum-hukum adat.
Misalnya saja yang dilakukan oleh
Philipus tersebut. Ia memasang tetre (daun sagu) di dusun
keluarganya untuk membatasi orang lain memanfaatkan wilayah hutan yang telah
diberlakukan cayin. Dusun atau hutan keluarga tersebut baru bisa
dipanen ketika sang pemilik membutuhkannya di masa depan, dalam hal ini untuk
biaya masuk sekolah anaknya. “Kami menabung dengan cara begini sudah. Mau bayar
sekolah anak, mau bangun rumah, mau bikin pesta, semua kami ambil dari dusun
(hutan) ini,” jelas pria yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Jaga Hutan (KJH)
Kampung Bow tersebut.
Philipus Yiwit (kiri) bersama kerabatnya mengumpulkan bahan makanan di hutan sagu. |
Selain memproteksi hutan yang masih
dalam masa produktif, ritual cayin dapat pula diterapkan pada
lahan-lahan kritis. Dusun-dusun yang sudah dimanfaatkan secara maksimal
biasanya akan diberikan tetre atau pisis (pucuk
daun sagu) sebagai tanda larangan cayin. Hal ini dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada lahan tersebut untuk tumbuh kembali secara alami. Masyarakat
adat Asmat percaya, layaknya manusia, hutan membutuhkan waktu istirahat untuk
memulihkan dirinya setelah bekerja keras menghasilkan makanan dan kebutuhan
lainnya. Mereka tidak mengenal pemanfaatan ekstraktif, yaitu mengambil sebanyak
mungkin dari alam tanpa memperhatikan keberlanjutannya.
Contoh lain penerapan ritual cayin adalah
pada saat keluarga tertua dalam suatu dusun meninggal dunia. Guna menghormati
orang tua yang baru meninggal, pihak keluarga akan memasang pisis di
beberapa pohon sebagai tanda larangan beraktivitas di dalam wilayah hutan
tersebut. Hal ini juga sebagai bentuk berduka keluarga selama beberapa tahun ke
depan. “Bisa jadi itu merupakan bentuk peringatan dari leluhur kepada kami yang
masih hidup. Makanya tidak boleh ke dusun itu dulu sementara waktu,” jelas
Walter Ewenmanam.
Selain larangan akses yang bersifat
temporer lewat ritual cayin, ada pula kawasan yang dilindungi
secara permanen. Kawasan ini disebut tempat keramat. Tempat keramat biasanya
adalah sebuah lokasi berupa hutan atau sungai yang ditetapkan secara adat tidak
dapat dimasuki oleh sembarangan orang apalagi sampai dirusak. Kosmologi
masyarakat adat Asmat meyakini tempat keramat merupakan bagian dari masa lalu
para leluhur. Mereka percaya roh orang-orang yang telah meninggal akan tetap
menempati lokasi hidup mereka dahulu. Hal ini merupakan proses persinggahan
sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju safan atau
surga.
Selain itu penetapan tempat keramat
adalah upaya Orang Asmat untuk mengenang jasa leluhur mereka. Ada berbagai
tokoh dan peristiwa masa lalu yang turut membentuk masyarakat adat Asmat di
masing-masing kampung saat ini. Hal itulah yang ingin terus dihidupkan sebagai
memori kolektif penghubung antar generasi. Menjaga kelestarian alam lewat penetapan
tempat keramat adalah juga upaya untuk menghargai jasa para leluhur mereka.
Alam pikir masyarakat adat Asmat
hidup dalam tiga masa. Tidak hanya memikirkan kehidupan saat ini, tetapi juga
masa lalu dan masa depan. Hal ini tercermin dari tindakan mereka dalam bekerja
sehari-hari. Banyak kearifan yang dijalankan bertujuan untuk mencegah manusia
Asmat untuk tidak berlaku egois, hanya memikirkan kepentingan generasinya saat
ini. Dalam setiap laku dan tindakannya Orang Asmat juga senantiasa memikirkan
leluhur dan anak cucu mereka.
Mama Katarina Akbotcemen (61 tahun),
perempuan tangguh dari Kampung Yepem, pernah menunjukkan saya secara langsung
praktik hidup untuk tiga masa ini. Saat pergi mencari bahan makanan di hutan
dan pantai, ia memperhatikan betul larangan adat yang berlaku. Pantang baginya
memasuki dusun yang ditetapkan sebagai tempat keramat. “Itu tempat leluhur.
Tidak boleh diganggu. Kalau mereka hidup tenang, kita juga akan hidup tenang.”
Saat mengumpulkan bahan makanan,
Mama Keti, sapaan akrab saya kepadanya, menerapkan konsep mengambil secukupnya.
Misalnya saat berburu karaka atau kepiting bakau. Jika dalam
satu lubang terdapat lebih dari satu karaka, maka tidak boleh diambil semua.
Mama Keti akan menyisakan beberapa ekor, terutama yang betina dan masih
berukuran kecil. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada karaka untuk
beregenerasi dan menjaga keseimbangan ekosistem di tempat tersebut. “Kalau kita
ambil semua, nanti karaka ini bisa habis. Kalau habis anak
cucu kita nanti mau makan apa?”
Hasil kerang-kerangan sebagai salah satu sumber pangan yang dikumpulkan dari hutan adat masyarakat adat Asmat |
Penyebutan frasa “untuk anak cucu” ini sangat sering saya dengar dalam pergaulan sehari-hari masyarakat adat Asmat. Ia selalu seiring dengan sikap menghormati leluhur yang kental mereka tunjukkan. Bekerja mengelola sumber daya alam, bagi Orang Asmat, adalah juga penghormatan pada masa lalu dan pengharapan pada masa depan.
Pengelolaan alam secara arif juga
ditunjukkan dalam pemanfaatan kayu bakar, bahan bakar utama dalam rumah tangga
masyarakat adat Asmat. Hukum adat Asmat mengatur pemanfaatan kayu bakar hanya
boleh dari pohon yang sudah mati. Pohon mati ditandai dengan dedaunan yang
telah rontok dan batang yang mengering. Terkadang pohon tersebut juga telah
tumbang dengan sendirinya karena dimakan usia. Pohon-pohon tersebutlah yang
boleh dibelah untuk menjadi kayu bakar. Bukan tanpa alasan logis, pohon yang
sudah mati cocok menjadi bahan kayu bakar karena sudah mengering. Saat
dikerjakan ia lebih mudah dibelah dan lebih ringan saat diangkut ke rumah. Saat
dibakar pun akan menghasilkan bara api yang lebih maksimal.
Dengan pemikiran dan tindakan seperti itu, masyarakat adat Asmat sesungguhnya ingin menyampaikan pesan bahwa kita yang hidup hari ini bukanlah pemilik akhir bumi. Kita berhak memanfaatkan alam tapi tentu tidak boleh sampai merusaknya. Generasi selanjutnya akan segera datang dan tentu saja mereka juga membutuhkan alam sebagai penopang kehidupan. “Kita harus mewariskan mata air kepada anak cucu, bukan air mata,” kata Walter Ewenmanam suatu hari kepada saya.
Segala praktik kearifan lokal
masyarakat adat Asmat tersebut mungkin tidak masuk akal bagi sebagian dari
kita. Namun begitulah hukum adat bekerja. Ia bersifat religio magis,
mengedepankan aspek tradisi dan kebudayaan, serta kontekstual dan tidak
tertulis. Hukum adat berlawanan dengan hukum modern yang bersifat rasional,
menekankan pada hukum tertulis yang dibuat oleh penguasa, berfokus pada sanksi,
dan bersifat universal (Afif Mahfud, 2020).
Secara garis besar, hukum adat Asmat
terbagi dalam dua tingkatan, yaitu karu dan teser.
Sistem hukum adat ini berlaku di seluruh komunitas masyarakat adat Asmat dengan
penyebutan berbeda di setiap rumpun atau sub-suku. Karu atau
pamali merupakan bentuk pelanggaran atas larangan adat yang masih bisa
diampuni. Larangan adat yang termasuk dalam kategori karu diantaranya,
memasuki dusun atau hutan milik orang lain tanpa permisi dan melanggar wilayah
yang telah di-cayin. Para pelanggar karu dipercaya akan
mendapat kesialan atau sakit yang diturunkan langsung oleh leluhur. Guna
mendapatkan pengampunan, harus dilaksanakan ritual beso atau
upacara pengampunan.
Sementara itu teser merupakan
pelanggaran besar yang tidak bisa mendapat pengampunan dari leluhur. Contoh
larangan adat yang termasuk dalam teser adalah memasuki dan
merusak tempat keramat. Jika melanggar jenis hukum ini taruhannya adalah nyawa
alias kematian. “Sudah banyak kejadian orang mati setelah mereka melanggar
teser. Jadi jangan coba-coba,” kata Walter Ewenmanam.
Upaya untuk mempertahankan
eksistensi kearifan lokal masyarakat adat Asmat – juga masyarakat adat di
seluruh nusantara, kini mendapat berbagai macam tantangan. Dua diantara
tantangan tersebut adalah sulitnya mengakomodir hukum adat ke dalam sistem
hukum nasional dan tekanan dari aktivitas pemanfaatan ekstraktif sumber daya
alam.
Sistem hukum nasional kita yang
terlanjur sangat skriptualis dan formalistik membuat ruang gerak hukum adat
menjadi sangat terbatas. Negara hanya berfokus pada hukum yang legal formal,
yaitu yang tertulis dan terkodifikasi. Sedangkan hukum adat yang berkembang
dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat terus terpinggirkan. Hal ini
menyebabkan penegakan hukum di Indonesia menjadi kaku dan sangat terbatas. Dari
sini keadilan substansial sangat sulit untuk diwujudkan.
Belum lagi rumitnya prosedur
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat yang menjadi prasyarat diakuinya hukum
adat. Padahal amanat konstitusi kita telah sangat jelas mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat (lihat pasal 18B ayat (2) UUD 1945). Namun pelaksanaan
pengakuan masyarakat hukum adat sungguh masih jauh dari harapan. Mengutip Prof.
Maria Sumardjono, ia seperti hutang yang tak kunjung (atau tak ingin) dilunasi
oleh pemerintah.
Seorang perempuan Asmat menebang sagu di hutan adat keluarganya. |
Pada tingkat tapak, ekspansi
perkebunan monokultur dan pertambangan semakin mendesak ruang hidup masyarakat
hukum adat. Hal ini tentu saja turut mengancam eksistensi hukum-hukum adat yang
turut melestarikan hutan. Di Asmat sendiri ancaman tersebut sudah semakin
dekat. Ia sudah sampai di kabupaten-kabupaten tetangga. Setelah wilayah masyarakat
adat Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika digarap oleh perusahaan tambang,
kini aktivitas pemanfaatan ekstraktif tersebut juga mulai muncul di Kabupaten
Mappi dan Boven Digul. Penambangan emas ilegal di beberapa lokasi mulai
berdampak pada kerusakan hutan dan pencemaran sungai. Belum lagi ekspansi
perkebunan kelapa sawit yang kini semakin masif di Kabupaten Merauke dan
sekitarnya.
Dengan segala kemungkinan yang
semakin terbatas, kini masyarakat adat Asmat mencoba bertahan dari ancaman yang
sudah semakin dekat tersebut. Upaya kecil yang sempat coba kami lakukan bersama
adalah pendokumentasian masyarakat adat di beberapa kampung. Hal ini tentu saja
lengkap melengkapi dengan upaya yang selama ini telah dijalanakan, yaitu
transfer pengetahuan antar generasi melalui budaya tutur dan aksi kebudayaan
yang dilakukan sehari-hari.
Dokumentasi tertulis tentang
masyarakat adat Asmat diharapkan dapat menjadi semacam jembatan yang
menghubungkan pengetahuan lokal kepada pihak luar. Materi penyadartahuan ini
nantinya juga dapat dijadikan bahan advokasi untuk mendapat pengakuan status
masyarakat hukum adat dari negara.
Dalam berbagai kesempatan
pengumpulan data, Walter Ewenmanam, pemuka adat Asmat yang menjadi salah satu
narasumber pada kegiatan pendokumentasian ini, selalu tampak bersemangat.
Selain menjadi narasumber, ia banyak membantu penyebaran informasi tentang
pentingnya pendokumentasian ini. Menurutnya proses ini penting dilakukan untuk
menyadarkan pihak luar pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam lewat
mekanisme adat.
“Semua kearifan lokal yang baik dan
masih dijalankan oleh masyarakat harus diakui. Ini penting kita lakukan agar
hutan, kali, dan dusun tempat kita hidup dapat terus lestari. Cuma itu yang
nantinya bisa kita wariskan kepada anak cucu.”
Walter Ewenmanam, Philipus Yiwit,
Mama Katarina Akbotcemen, dan semua masyarakat adat Asmat yang masih percaya
pada tradisinya adalah mereka yang bertahan walaupun dalam senyap. Tanpa bersuara langsung, mereka menyampaikan pesan kepada kita semua #UntukmuBumiku adalah warisan yang mesti kita rawat. Mereka
percaya kearifan turun-temurunlah yang akan menyelamatkan, bukan keserakahan.
Yuk #BersamaBergerakBerdaya menjaga hutan!
Komentar
Posting Komentar